Di suatu sore, awan kelabu sudah mulai menggantung di langit. Aku segera merapatkan jaketku dan bergegas menuju motorku yang terparkir di sana, pulang. Aku harus sudah di rumah saat hujan mengguyur nanti, aku benci kehujanan.
Bukan, bukannya aku tidak membawa jas hujan. Aku selalu membawa poncoku setiap hari, jadi sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi, entahlah, aku tidak suka kehujanan, terutama ketika sedang di jalan.
Dan sore itu, ketika sudah setengah jalan, kurasakan titik demi titik air mulai terlihat di kaca helmku. Ah, hujan sudah mulai turun rupanya.
“Ya Allah, tolong jangan hujan deras dulu…gerimis segini aja nggak apa-apa, deresnya nanti saja kalau sudah di rumah ya,” entah kenapa tiba-tiba aku berbisik, meminta.
“Kenapa harus menunggu kamu sudah sampai rumah?”
Aku terkesiap. Suara siapa itu? Jelas-jelas aku sedang mengendarai motorku dan aku yakin tak ada pengendara lain yang terlihat mengajak aku mengobrol. Aku jelas tak mungkin mencari sosoknya dengan menolehkan kepalaku, jadi kuputuskan untuk bertanya.
“Siapa kamu?”
“Aku Mikail—malaikat penurun hujan”
“Mikail?” sungguh tak kupercaya malaikat Mikail menjadi teman perjalananku pulang sore ini, “bisakah kau menunda menurunkan hujan sampai nanti ketika aku sudah di rumah?”
“Tadi kan sudah kutanya, kenapa?”
“Tidak bisakah kau lihat itu?” motorku tengah terhenti di antara kerumunan roda dua dan empat lainnya di perempatan, menunggu pergantian lampu merah menjadi hijau, “masih banyak pengendara motor seperti aku yang juga belum pulang. Kasihan mereka kalau kehujanan juga”
“Memangnya kau bisa menjamin, kalau kau sudah sampai rumah, mereka juga?”
Aku terdiam, benar juga, pikirku, tapi aku masih bersikeras, “tidak juga sih, tapi aku yakin kalau sebagian besar dari mereka seharusnya sampai rumah bersamaku”
Mikail terdiam, “baiklah kalau begitu, tapi kalau sekadar gerimis, tidak masalah, bukan?”
Aku mengangguk, “tidak masalah”
Lampu hijau telah menyala. Aku segera menjalankan motorku lagi, di tengah gerimis rapat dan awan kelabu yang masih setia bergelantungan di langit seolah tak sabar untuk menumpahkan semua air matanya sederas-sederasnya.
Perjalananku lancar-lancar saja dan kali ini tak ada percakapan lagi dengan Mikail. Memang harus membicarakan apa lagi? Toh, urusanku sudah selesai dengannya.
Satu kilometer lagi menuju rumah, dan tiba-tiba saja tanpa ba-bI-bu hujan turun dengan sangat deras. Kenapa Mikail sudah menurunkan hujannya sekarang sih? Jelas-jelas aku belum tiba di rumah. Ah, sudahlah, aku terlalu letih untuk berdebat dengan Mikail. Segera kucari tempat teduh dan memakai poncoku.
Baru saja kunyalakan lagi motorku, tiba-tiba saja hujan reda, benar-benar reda tanpa gerimis sedikit pun.
“Hujannya kok gak jelas begini sih? Udah nanggung dekat rumah, eh tahunya Cuma sebentar. Tahu gitu, kenapa hujannya nggak sekalian dari tadi saja?”
“Kamu ini banyak maunya ya, hei manusia,” tiba-tiba terdengar suara Mikail yang mengejutkanku, “maaf ya, tadi tiba-tiba hujan deras karena awan sudah tidak kuat menahan kesabarannya untuk menahan hujan agar tidak turun deras sebelum kamu sampai rumah”
“Maksudmu banyak mau itu apa?” motorku sudah mulai memasuki kompleks perumahan, tinggal beberapa blok saja dari rumah.
“Tadi awalnya kau bilang ingin hujan deras saat kau sudah sampai rumah, tapi begitu tadi sempat hujan deras sebentar, kau bilang ingin hujannya dari awal kau berangkat saja. Sebenarnya maumu apa sih?”
Aku tertegun, dan secara tak sadar kuhentikan motorku.
“Aku sudah menepati janjiku untuk menunda menurunkan hujan deras karena tujuanmu mulia—tidak ingin orang lain yang bernasib sama denganmu kehujanan juga. Tapi, pada akhirnya ketika tadi secara tak sengaja hujan turun deras, kau malah ingin hujan itu sudah turun sejak awal. Lalu, para pengendara motor yang tadi kau pikirkan itu ke mana? Kau ini benar-benar egois ya?”
Aku menahan napas, tertampar sekali aku dengan pernyataan Mikail ini. Bagaimana tidak, hampir setiap aku pulang dengan kondisi yang sama seperti sore ini, aku selalu melakukan hal yang sama. Bedanya, Mikail tidak menegurku. Bukan tidak, belum.
“Untung saja Tuhan menciptakanku tanpa memiliki nafsu, jadi aku takkan marah padamu, “lanjut Mikail, “seharusnya kau malu pada dirimu sendiri, manusia. Bukankah Tuhan sudah menunjukmu sebagai khalifah di bumi? Kalau kau masih saja egois untuk hal remeh macam hujan begini, bagaimana caramu untuk peduli dengan orang lain? Bagaimana caramu untuk memimpin dunia? Kau seharusnya malu karena kau telah menyia-nyiakan kesempatan emas itu, kesempatan langka yang diberikan Tuhan hanya untukmu, hei manusia!”
Aku terdiam, tak kusangka Mikail sampai berkata seperti itu. Lama sekali kurenungkan kalimat terakhirnya. Gerimis mulai turun kembali.
“Sudah saatnya aku pergi, tugasku sudah selesai, “kata Mikail, “sebaiknya kau memohon ampun pada Tuhanmu sekarang, selagi malaikat-malaikat lain tengah turun untuk mengaminkan doamu,” kudengarkan suara Mikail yang semakin menjauh, “semoga Tuhan mengampuni dosamu”
Dan hujan pun turun dengan derasnya.
(Rumah, 18 Maret 2015)
ps. image from tumblr.com